Pantun? Merupakan puisi klasik yang pada mulamya dilisankan, populer di Tanah Melayu (Nusantara dan Malaysia) sejak Abad ke 15. Maka pantun disebut sebagai warisan budaya nirbenda yang memperkuat identitas budaya dan jati diri bangsa, diakui oleh UNESCO 17 Desember 2020 di Paris Prancis. Langkah selanjutnya, Papatong Artspace bertekad memperkokoh eksistensi pantun di panggung dunia melalui gerakan menulis pantun dengan mengundang pelajar, mahasiswa, guru/dosen, budayawan, penyair, penulis dan masyarakat pecinta pantun.
Impian, untuk diwujudkan!
Menghimpun karya pantun pena putra-putri dari seluruh Nusantara dan Negeri Serumpun (Malaysia dan Singapura), merupakan tekad kami (Naning Pranoto dan Yeni Fatmawati) untuk mempersembahkannya kepada dunia melalui UNESCO. Ini merupakan langkah nyata sebagai kelanjutan melestarikan budaya adiluhung leluhur. Itulah yang mendorong kami menerbitkan Buku Antologi 1001 Pantun Nusantara dan Negeri Serumpun, sebagai legacy bertiti-mangsa Juli 2024, ]diluncurkan Minggu, 28 Juli 2024 di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB. Jassin Taman Ismail Marzuki Menteng Jakarta, pada pukul 10.00 – 12.30 WIB. Pembedah pantun Yahya Andi Saputra, Budayawan Betawi didampingi Naning Pranoto selaku Sastrawati dan Pegiat Literasi.
Terbitnya antologi ini merupakan keberhasilan tim kerja yang dibangun sesolid mungkin. Pertama-tama adanya kerjasama dengan pimpinan atau kepala serta pelajar dan mahasiswa-mahasiswi dari berbagai lembaga pendidikan yang siap dan semangat diundang mengikuti workshop penulisan pantun secara maraton melalui daring (link-zoom) dalam jangka waktu sebulan.
Alhamdulillah wa syukurillah, Antologi 1001 Pantun Nusantara dan Negeri Serumpun (1001 PN-NS) terbit sesuai dengan harapan. Ini merupakan merupakan wujud dari kerja kreatif yang sifatnya kolektif berfondasikan ’ruh cinta negeri’ untuk melestarikan budaya adiluhung para leluhur. Ratusan pena mencipta pantun dilakukan oleh berbagai pihak: pelajar, mahasiswa-mahasiswi, budayawan, sastrawan, penyair, guru, dosen serta masyarakat pecinta pantun, melalui proses kreatif yang berbeda-beda. Antara lain kami menyelenggarakan workshop penulisan pantun secara marathon melalui daring. Sungguh terharu menyaksikannya, di era digital ternyata Gen-Z sebagai zoomer ternyata antusias diajak nguri-uri pantun yang telah berusia hampir 6 (enam) abad. Demikian pula para generasi sebelumnya, semangat yang sama begitu menyala-nyala dalam berpantun-ria. Untuk itu, kami menghaturkan terima kasih yang setinggi-tingginya atas dedikasi para penulis pantun dalam antologi ini.
Sungguh suatu berkah dan sekaligus keunikan, keragaman latar belakang suku bangsa di tlatah Nusantara di mana para penulis pantun berasal, membuat pantun dalam sajian ini membawa pembacanya ’terbang’ atau ’bertamasya’ ke suatu wilayah ke wilayah lainnya di Tanah Air. Contoh: penulis pantun dari wilayah D.I. Yogyakarta dan sekitarnya benar-benar mampu menyajikan budaya, kuliner, lokasi wisata, adat-istiadat, kesenian hingga seni-kriyanya ke dalam pantun yang mereka tulis. Demikian pula penulis pantun dari Tana Toraja, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Tanah Pasundan, Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, Betawi hingga Malaysia, Singapura, Belgia dan Finlandia serta wilayah lainnya juga bercerita tentang ’negeri’ mereka: Memukau!
Pantun Hijau karya pelajar, guru dan orang tua siswa serta alumni dari Sekolah Alam Indonesia (SAI) maupun Sekolah Alam Cikeas menyajikan tentang perlunya merawat, menjaga lingkungan serta pelestarian alam dalam bingkai bumi secara mikro maupun makro. Pesan yang mereka tulis tersebut jika disosialisasikan gaungnya akan menjadi program nasional yang merupakan salah satu pilar untuk mewujudkan Indonesia Emas secara ekologi. Besar harapan saya antologi ini bisa menjadi pembawa pesan berantai untuk menjaga bumi tetap hijau, rumah kita satu-satunya.
Peranan para pimpinan lembaga pendidikan, guru dan dosen sangat kami hargai dalam mengajak anak didik menulis pantun untuk antologi ini, sehingga anak didik tingkat Sekolah Dasar (SD) hingga SMA dan setingkat pun ikut serta aktif membuahkan karya. Tentu ini sangat luar biasa, mengingat Gen-Z dilabeli stigma pemain gadget, tapi nyatanya mau menulis pantun dan menghasilkan karya yang penuh makna. Kalangan mahasiswa-mahasiswi juga membanggakan, karena tidak melupakan warisan leluhur.
Bertamasya ke Bumi Priangan Jelita
Jangan lupa singgah di Bandung Kota Bunga
Mari bersama kami berpantun dengan suka-ria
Persembahkan Budaya Nusantara ke Panggung Dunia!
Recent Comments