Karya seni juga bukan semata-mata ekspresi perasaan, namun juga bisa memiliki ekspresi nilai, baik nilai esensi, nilai kognitif, dan nilai kreativitas.
Seniman, karya seni, dan apresiator bak tiga pilar atau komponen utama untuk pendukung kehidupan seni. Tidak satupun komponen tersebut dapat diabaikan keberadaannya, karena kesatuannya yang dinamis memungkinkan seni hidup berkembang dalam masyarakat. Artinya, ketiganya saling berinteraksi secara dinamis dan kreatif.
Narasi ini adalah sebuah pengantar spirit terselenggaranya sebuah ajang pameran seni rupa bertajuk ‘Natura Kultura’ yang diselenggarkan dari tanggal 19 – 27 Agustus 2017 di Lobby Prama Grand Preanger Bandung. Pameran seni rupa tersebut akan menghadirkan beragam corak warna, gaya, dan latar belakang perupanya dalam merespos alam dan budaya.
Sang kurator, Agus Cahyana mengatakan, ‘Natura Kultura’ ini merupakan sebuah metafora dari kata natural kultural. Dua kata tersebut menurutnya memiliki makna yang luas dan dalam. Namun, dalam pameran kali ini, Agus coba menyampaikan makna yang jauh lebih disesuaikan dengan paradigma dari sang perupa atau seniman, yang tentu tafsirnya bisa beragam.
Secara definisi pun bagi Agus, natura (natural) memiliki arti alamiah atau bersifat alami, native, original, dan fleksibel. Sementara Kultura (Kultural) memiliki arti sesuatu yang terkait dengan kebudayaan kelompok tertentu serta kebiasaan yang meliputi kepercayaan tradisi yang berhubungan dengan hal-hal berbau seni, musik, tari, dan lainnya.
“Dua unsur itu yang menjadi inspirasi, yang untuk kemudian kami jadikan sebuah judul untuk pameran seni rupa. Hal ini diambil karena manusia, terutama para perupa, pelukis, atau seniman tak pernah lepas dari unsur natura (alam) dan kultura (budaya),” kata Agus disela pembukaan pameran seni rupa ‘Natura Kultura‘ di lobby Prama Grand Preanger, Bandung, Sabtu (19/8/2017).
Ruang Ekspresi Perupa
Tajuk ‘Natura Kultura’ ini, menurut Agus dimaksudkan pula untuk memberi ruang bagi para seniman untuk menginterpretasikan ekspresinya sesuai dengan persepsi masing-masing.
Berkaitan dengan interpretasi mengenai budaya dan lingkungan yang hidup di sekitar seniman, di mana ia bisa diposisikan sebagai bagian dari keduanya ataupun sebagai sosok yang berjarak sehingga dapat memberi pandangan yang unik dan menarik.
“Melalui tema ini bukan dimaksudkan untuk membatasi perupa hanya berkisar tentang budaya dan alam, yang berujung pada tampilan karya rupa yang mengambil objek pohon, aktivitas budaya, atau artefak budaya tapi justru menjadi salah satu cara untuk memicu interpretasi kreativitas dari para seniman peserta pameran ini dalam melihat hubungan keduanya,” beber pria yang juga seorang dosen Seni di ISBI Bandung itu.
Citra Rasa Alam, Budaya, dan Kebiasaan Masyarakat
Memang pada pameran ini karya dapat dikelompokkan menjadi tiga tema. Pertama, karya yang menampilkan tema alam seperti pemandangan alam, binatang, maupun pepohonan. Tema ini dapat dilihat pada beberapa karya seniman antara lain karya milik Yeni Fatmawati yang menampilkan pemandangan deretan pegunungan dengan warna monikromatik yang berkesan tenang. Pada lukisan lainnya, A. K. Patra Suwanda dengan judul ‘Tirta Pancara’ justru menghadirkan keheningan melalui penggambaran aliran air di sungai yang bersumber dari mata air yang masih asri.
Penggambaran pemandangan yang berbeda juga ditampilkan oleh Moel Soenarko yang menghadirkan lukisan dengan objek perkampungan di tepi sungai yang terlihat padat namun menjadi sangat menarik untuk ditampilkan di dalam lukisan. Bahkan, cerita mengenai alam ditampilkan dengan cara penggambaran yang naif yang cenderung naratif seperti pada karya Dina Maretta yang berjudul ‘Neverland’ atau Aria Prawira berjudul ‘Have Fun On Earth’.
Objek binatang pada pameran ini ditampilkan pula salah satunya oleh Chandra Maulana yang menggambarkan sekelompk kuda berwarna hitam yang diletakkan di bagian tepi bawah kanvas, dengan latar belakang langit yang lebih luas menghadirkan kesan mengenai kekuatan alam.
Kelompok berikutnya adalah karya yang menghadirkan budaya sebagai kegiatan yang menjadi ciri khas dari masyarakat Indonesia, seperti penggambaran suasana pedesaan dengan aktivitas penduduknya yang unik. Ekspresi ini ditampilkan oleh Benjamin Kosasih lewat lukisannya berjudul ‘Tepi sungai’.
Demikian pula dengan Yoyo Susanto dalam lukisannya yang berjudul ‘Wanita Bali’, memperlihatkan kebiasaan wanita Bali ketika akan melaksanakan upacara dengan membawa persembahan buah-buahan di atas kepala mereka.
Kekayaan budaya Indonesia tidak hanya tercermin dari alam dan aktivitas keseharian masyarakatnya, tetapi juga dari kesenian dan kebiasaan lain yang melekat dengan kehidupan masyarakat.
Kebiasan lain yang melekat dengan kehidupan masyarakat dihadirkan oleh Andi Sopiandi dengan judul karya ‘Sarapan Pagi’, di mana menggambarkan kekhasan makanan tradisional berupa objek kebiasaan sarapan khas masyarakat Sunda, yang biasanya makanan hasil kebun, seperti pisang rebus disertai dengan minuman teh.
Berbeda dengan sarapan Andi Soiandi, Edo justru menghadirkan makanan khas barat, yaitu roti sebagai objek dalam lukisannya. Hal ini membuktikan bahwa budaya bersifat dinamis, sehingga akan selalu mengalami perubahan dan penyesuaian sesuaindenhan keadaan zamannya.
Esensi ini pula yang sepertinya ingin diungkapkan oleh M. Y. Mulyadi dalam karyanya berjudul ‘Open The Eyes of The Heart’, yang menampilkan kekritisan terhadap perkembangan zaman yang diwarnai oleh kemajuan teknologi yang terkadang menghadirkan informasi yang tidak jelas kebenarannya.
Kekhawatiran tentang perkembangan teknologi yang berdampak pada keberlangsungan hidup manusia dan keseimbangan alam juga ditampilkan oleh Akbar Linggaprana dengan karya bergaya surealistik berjudul ‘Global Farming’.
Keragaman Interpretasi Perupa
Keberagaman interpretasi yang dihadirkan oleh para seniman dalam pameran ini menurut Agus, menunjukkan bahwa budaya atau kultur dan alam mampu dihubungkan dengan cara yang unik, demikian juga dengan pemaknaan yang nenyertainya.
“Nilai budaya tradisi yang terus mengalami perubahan menuju budaya modern merupakan sebuah bagian dari hukum alam yang selalu mencari keseimbangan baru agar semuanya kembali harmonis,” ujar Agus.
Begitu halnya dengan para seniman yang berbicara melalui karya-karyanya dan menandai tiap tahap perubahan tersebut. Agus menyebutkan, luapan interpretasi inilah yang akan selalu menjadi pengingat sekaligus pembelajaran bagi generasi selanjutnya dalam menentukan arah perubahan.
“Seperti pada pengertian Natura yang bersifat alami dan Kultura berarti budaya, pameran ini diharapkan dapat memberi gambaran mengenai sifat budaya yang secara alamiah akan terus berubah, dan selalu dapat diinterpretasikan dengan berbagai cara sesuai dengan konteks zamannya,” tutup Agus.
Timbal Balik dan Keinginan Perupa
Sementara, Ketua Pelaksana Pameran Seni rupa ‘Natura Kultura’ sekaligus perupa dan kreator seni, A. K. patra Suwanda menambahkan, unsur alam dan budaya itu lah yang menjadi titik tolak dari pameran ‘Natura Kultura’.
“Tema ini kami angkat karena jangkauannya lebih bebas juga lebih luas. Sehingga memudahkan para perupa untuk mengekspresikan judul dan tema yang akan di jadikan karya untuk disajikan di atas kanvas,” katanya saat ditemui AyoBandung di lokasi pameran.
Pria asli Sunda yang kini berusia 39 tahun itu pun mengungkapkan, memang barang kali pula sudah naluriah kalau perupa dengan karyanya memerlukan “ruang” dan respons atau tanggapan dari masyarakat pecinta seni sebagai bagian dari kegiatannya untuk berbagi wawasan seni dan adanya timbal balik positif terhadap hasil karya seninya itu.
“Para peserta pameran Seni Rupa Natura Kultura terdiri dari perupa maestro, perupa mumpuni, dan perupa potensial, tentunya dengan niat baik. Semoga para perupa dari lintas generasi dan dengan berbagai latar belakang yang berbeda ini menjadi awal yang baik untuk perkembangan dinamika seni rupa di Kota Bandung, ” pungkas Patra.
https://ayobandung.com/read/2017/08/21/22909/natura-kultura-alam-dan-budaya-dalam-ungkapan-perupa
Pengumuman Peserta Unggulan Papatong Award 2021
Pemenang Unggulan Lomba Membaca Puisi Bertema Eksistensi Bumi dan Pelestarian Lingkungan -Papatong Award #AnugerahPuisiBumi 2021 Unggulan Kategori A Nabila Eka – SMA Muhammadiyah 10 Gresik Zabila Maydinah – SMPN 210 Ciracas Centex, Jakarta Gricesella – SMP CKTC...
Puisi Pilihan untuk Papatong Award #AnugerahPuisiBumi 2021
Beberapa puisi pilihan yang bisa dibacakan dalam lomba membaca puisi di Papatong Award: #AnugerahPuisiBumi 2021BAGIMU NEGERI: GEMAH RIPAH LOH JINAWI Yeni Fatmawati Kugenggam biji-biji hitam kemilau jumlahnya tak terbilang Lalu kutabur di atas hamparan padang dan...
Papatong Award 2021-Anugrah Puisi Bumi
Papatong Artspace studio seni yang didirikan oleh Yeni Fatmawati bekerjasama dengan Rayakultura mengadakan lomba menulis dan membaca puisi dengan tema Eksistensi Bumi dan Pelestarian Lingkungan. Puisi yang dibawakan adalah karya sendiri yang dibacakan sendiri atau...
Pameran Tunggal Mozaik Kehidupan
Yeni Fatmawati, bekerjasama dengan Rayakultura dan Tembi Rumah Budaya menggelar pameran tunggal karyanya di Tembi Rumah Budaya, jl. Parangtritis Km 8,5, Tembi, Timbulharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta. Pembukaan pameran ini dibuka pada hari Jumat, 10 Januari 2020, pkl...
Kenangan Tak Terlupakan, Penyair Yeni Fatmawati Dijadikan Model Lukisan Jeihan
AKURAT.CO, Di mata penyair, perupa, dan pengacara Yeni Fatmawati (48 tahun), almarhum Jeihan Sukmantoro adalah seorang filsuf dan pribadi yang hangat. “Dia bukan hanya pelukis, tapi juga filsuf. Kami bersahabat,” tutur istri politisi senior Fahmi Idris itu dalam...